
Indonesiaseharusnya-jabar.com -(10-11-2022) -Pertemuan Para Pihak Konvensi Kerangka Kerja PBB untuk Perubahan Iklim ke-26 atau COP-26 di Glasgow, Skotlandia tahun lalu, melahirkan sejumlah komitmen global untuk menekan laju percepatan perubahan iklim. Salah satunya adalah mengganti energi berbahan baku fosil menjadi Energi Baru Terbarukan (EBT).
Termasuk di dalamnya adalah komitmen mengurangi penggunaan batubara dan memensiunkan atau mencadangkan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) yang membakar batubara.
Saat ini, lebih dari 2.000 GW PLTU beroperasi di seluruh dunia. Kapasitas terpasang tersebut harus dipangkas sekitar 1.000 GW untuk mencegah kenaikan suhu bumi dan digantikan dengan energi terbarukan. Inggris, China, India, Malaysia, Filipina, Vietnam, dan Indonesia telah menyampaikan komitmen dalam COP-26 untuk mengurangi penggunaan PLTU dan memensiunkan PLTU secara bertahap.
Target jangka menengahnya adalah 2030 dan jangka panjang 2060.
Menggantikan batubara dengan EBT tidaklah susah asalkan ada uang. Indonesia memiliki potensi EBT yang cukup besar, yakni mencapai 417,8 GW. Akan tetapi, saat ini yang dimanfaatkan baro 10,4 GW atau sekitar 2,5 persen. Potensi ini berasal dari arus laut samudera sebesar 17.9 GW, panas bumi 23,9 GW, bioenergi 32,6 GW, angin 60,6 GW, air 75 GW, dan matahari atau surya 207,8 GW (Media Indonesia, 6/11/2021).
Namun, menjalankan kebijakan untuk mengganti energi fosil ke arah energi hijau tidak mudah. Paling tidak ada dua tantangan yang harus dihadapi, yaitu dari aspek pembiayaan dan dan dari aspek optimalisasi penggunaan EBT bagi pembangkit listrik.
Transisi menuju energi hijau membutuhkan pembiayaan besar. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan, total kapasitas PLTU yang ditransisikan ke energi terbarukan mencapai 5,5 GW. Dalam delapan tahun ke depan, Indonesia setidaknya membutuhkan dana sebesar 20 miliar dollar AS-30 miliar dollar AS atau berkisar Rp 284 triliun-Rp 426 triliun untuk merealisasikan transisi itu.
Bagi Indonesia yang tengah merampungkan sejumlah pembangunan PLTU baru, transisi tersebut akan menambah beban biaya. Ada biaya kompensasi atau kontrak jangka panjang yang masih berlangsung yang harus dibayarkan kepada investor. Dalam siaran pers, PT PLN membutuhkan investasi sebesar Rp 500 miliar dollar AS atau setara Rp 7.150 triliun untuk mencapai target bebas karbon pada pembangkit listriknya tahun 2060 (Kompas, 5/11/2021).
Untuk mengatasi pembiayaan tersebut, Kementerian Keuangan memastikan, transisi PLTU tidak sepenuhnya menggunakan dana APBN, tetapi pendanaan gabungan melalui program Energy Transition Mechanism (ETM) atau mekanisme transisi enegi. Pendanaan hijau berbasis ETM merupakan salah satu cara pembiayaan gabungan (blended finance) untuk mendukung percepatan penutupan PLTU kemudian menggantikannya dengan energi terbarukan. Pembiayaan pertama dikhususkan untuk penutupan dini atau pengalihan fungsi pembangkit listrik tenaga batubara dengan jadwal yang dipercepat. Adapun pembiayaan kedua berfokus pada investasi pembangkit, penyimpanan, dan peningkatan jaringan listrik energi terbarukan.
Di sela-sela COP 26 di Glasgow 2021 tahun lalu, Bank Pembangunan Asia (ADB) meluncurkan kemitraan baru untuk memulai ETM bersama Indonesia dan Filipina. Peluncuran itu dihadiri oleh Presiden ADB, Menteri Keuangan Indonesia dan Menteri Keuangan Filipina.
Pemerintah Jepang telah berkomitmen mendukung kemitraan ETM itu. Wakil Menteri Urusan
Internasional Kementerian Keuangan Jepang Masato Kanda menyatakan, Pemerintah Jepang akan memberikan hibah senilai 25 juta dollar AS bagi negara pelaksana kemitraan ETM.
Tantangan selanjutnya mengenai pemanfaatan sumber energi terbarukan sejauh ini adalah sifat EBT yang intermitensi. Belum semua pembangkit listrik energi terbarukan mampu beroperasi 24 jam. Pemanfaatan EBT di beberapa daerah di Indonesia yang belum terjangkau aliran listrik menunjukkan ketidakoptimalan pemanfaatan EBT untuk pembangkit listrik.
Di Pulau Papagarang, NTT, warga mengandalkan pasokan listrik dari pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) berkapasitas 380 kilowatt peak (kWp). Saat musim hujan ketika matahari tidak bersinar penuh dilakukan pemadaman bergilir karena daya listrik yang disimpan dalam baterai tak cukup untuk memenuhi kebutuhan listrik seluruh warga. Situasi yang sama terjadi di PLTS Oelpuah di Kupang, NTT. PLTS dengan kapasitas 5 megawatt peak yang diresmikan Presiden Joko Widodo pada Januari 2016 ini memiliki sekitar 22.000 modul panel surya.
Modul itu memiliki kemampuan menangkap cahaya pada suhu tertentu. Jika suhu melebihi batas normal, alat akan rusak secara perlahan. Saat cuaca mendung, hujan, atau awan menutup sinar matahari, daya listrik langsung anjlok dalam hitungan detik (Kompas, 25/10/2021).
Sementara itu, pada Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) Sidrap yang berkapasitas 75 MW di Kabupaten Sidrap, Sulsel, faktor cuaca turut mempengaruhi besaran produksi tenaga listrik. PLTB Sidrap kerap menghadapi musim angin kencang terjadi pada Mei sampai Oktober. Puncaknya terjadi pada Juli hingga September. Pada masa pergantian musin, angin bertiup lemah. Jika kecepatan angin tak sampai tiga meter per detik, turbin belum berputar. Di sini, rata-rata kecepatan angin 10-12 meter per detik. Kalau sedang bagus, kecepatan angin mencapai 12-20 meter per detik, ujar Pribadhi Satriawan, Manager Operasi PLTB Sidrap.
Demikian pula dengan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) yang pasokannya kadang tidak optimal. Operasional PLTA sangat dipengaruhi debit air dan status pencemaran sungai. PLTA Musi di Bengkulu, misalnya. Pembangkit ini mengandalkan aliran Sungai Musi yang membentang dari Sumatera Selatan. Belakangan ada kecenderungan meningkatnya kekeruhan air saat hujan deras. Hal serupa terjadi di PLTA Tonsealama di Kabupaten Minahasa, Sulut. PLTA ini mengandalkan air Danau Tondano sebagai sumber energi primer.
Masalahnya, Danau Tondano kian dangkal dan menyempit.
Banyak kalangan yang kurang yakin energi terbarukan bisa mengganti sebagai energi primer. Oleh karena itu wajar kalau banyak negara di dunia yang menyatakan masih sulit melepaskan penggunaan bahan bakar berbasis fosil, termasuk batubara .
Pengamat energi menilai pasokan yang bisa menggantikan pemakaian batubara ialah energi nuklir. Energi nuklir dianggap lebih stabil tidak bersifat intermitensi. Dalam keadaan krisis hanya ada dua negara yang selamat, yakni Perancis dan Norwegia. Perancis mengandalkan lebih dari 75 persen bauran energi dari nuklir. Energi ini tidak berpengaruh terhadap efek volatilitas bahan bakar (Media Indonesia, 6/11/2021).
Energi bersih sudah menjadi bagian dari peradaban modern. Karena itu, semua elemen dalam negeri hendaknya dilibatkan. Bila perlu, peta jalan menuju penghentian pembangkit listrik tenaga batubara secara bertahap hingga 2040 dituangkan dalam undang-undang untuk mencegah ganti rezim ganti pula kebijakan.
Konsistensi kebijakan energi bersih harus berjalan tegak lurus, siapa pun yang memimpin negeri ini. Dengan demikian, janji memensiundinikan batubara jangan sekadar retorika sampai batubara kelak betul-betul tinggal cerita.
Ditulis Oleh: Mahendra Kusuma, SH, MH, dan Dr. Sisnayati, ST, MT
(Dosen Universitas Tamansiswa Palembang)
Red. Is-jabar/T